Wednesday, September 4, 2013

Biografi Ibnu Rusyd dan Falsafahnya



Perlu disampaikan bahwa uraian-uraian pemikiran filsafat Ibnu Rusyd di atas belum sepenuhnya dapat dijelaskan secara terperinci dan mendalam. Ibnu Rusyd merupakan filosof muslim yang kaya dengan khasanah pemikiran-pemikiran yang filosofis dan ilmiah, sehingga pemikiran dan karya-karyanya tidak hanya dihargai di dunia Islam namun juga di dunia Barat yang ditandai dengan munculnya gerakan Averroisme di Eropa. Penulis berkeyakinan bahwa filsafat itu penting, untuk mengenal Tuhan lebih dalam, selain pendekatan keimanan, maupun secara pendekatan ilmiyah dan logika. Filsafat Ibnu Rusyd menurut penulis tidak ada yang bertentangan dengan ajaran Islam sebagaimana dikatakan oleh al-Ghazali sebelumnya, namun berbeda pada penamaannya saja. Dalam perkataan lain tidak ada yang salah dengan pemikiran Ibnu Rusyd dan tidak menolak pula apa yang dijelaskan oleh al-Ghazali. Umat Islam jangan dan cepat mengambil kesimpulan dan latah dalam memahami dan menilai Ibnu Rusyh. Ia adalah ulama besar Islam yang patut dipuji yang telah banyak memberikan kontribusi terhadap kemajuan Eropa dan umat Islam, kita berharap sosok Ibnu Rusyd bangkit di abad 21 ini.



A. PENDAHULUAN

Di Andalusia, tepatnya di kota Cordova lahir seorang filosof Muslim terkenal bernama Ibnu Rusyd. Ketika itu Andalusia (Spanyol) merupakan salah satu pusat peradaban Islam yang maju dan cemerlang serta banyak menghasilkan ilmuan-ilmuan muslim besar seperti Ibnu Bajjah dan Ibnu Thufail. Di sisi lain, Eropa (baca: masyarakat kristen Eropa) masih berada dalam zaman kegelapan, kebodohan dan terkungkung dalam hegemoni kekuasaan gereja (The dark middle ages), sehingga dapat dilihat dalam konteks sejarah bahwa dengan munculnya peradaban Islam di Andalusia, telah menjadi jembatan bagi Eropa untuk mengetahui dan mempelajari Ilmu pengetahuan khususnya filsafat. Dengan demikian dunia Islam telah memberikan kontribusi yang besar bagi kemajuan Eropa.

Sebagai seorang filosof, Ibnu Rusyd banyak memberikan kontribusinya dalam khasanah dunia filsafat, baik filsafat yang berasal dari Yunani maupun yang berasal dari filosof-filosof muslim sebelumnya. Ibnu Rusyd dalam filsafatnya sangat mengagumi filsafat Aristoteles dan banyak memberikan ulasan-ulasan atau komentar terhadap filsafat Aristoteles sehingga ia terkenal sebagai komentator Aristoteles.

Dalam makalah ini sekilas akan diuraikan beberapa pemikiran filsafat Ibnu Rusyd, biografi dan karyanya, tanggapan terhadap kritik al-Ghazali, di samping pengaruh pemikirannya dalam ilmu pengetahuan yang kemudian memunculkan gerakan Averroisme di Barat.

B. BIOGRAFI HIDUP DAN KARYANYA

Nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd. Berasal dari keturunan Arab kelahiran Andalusia.[1] Ibnu Rusyd lahir di kota Cordova tahun 526-595 H atau 1126-1198 M. Ia lahir dan dibesarkan dalam keluarga ahli fiqh, ayahnya seorang hakim. Demikian juga kakeknya sangat terkenal sebagai ahli fiqh. Sang kakek dengan cucunya mempunyai nama yang sama, yaitu Abu al-Walid. Maka untuk membedakannya, sang kakek dipanggil Abul Walid al-Jadd (kakek), sedang sang cucu Abul Walid al-Hafidz.[2]

Semenjak kecil Ibnu Rusyd belajar ilmu fiqh, ilmu pasti dan ilmu kedokteran di Sevilla kemudian berhenti dan pulang ke Cordova untuk melakukan studi, penelitian, membaca buku-buku dan menulis.[3] Pada usia 18 tahun Ibnu Rusyd hijrah ke Maroko, di sana ia belajar kepada Ibnu Thufail. Dalam bidang ilmu Tauhid (teologi) ia berpegang pada paham Asy’ariyah dan hal ini tetap memberikan jalan baginya untuk mempelajari ilmu filsafat. Ringkasnya Ibnu Rusyd adalah seorang yang ahli dalam bidang filsafat, agama, syari’at, dan kedokteran yang terkenal pada masa itu.[4] Pada tanggal 19 Shafar 595 H/10 Desember 1198 M, Ibnu Rusyd meninggal dunia di kota Marakesh. Beberapa tahun setelah ia wafat, jenazahnya dipindahkan ke kampung halamannya yaitu kota Cordova.

Menurut Ibrahim Madkur, Ibnu Rusyd adalah filosof muslim besar periode terakhir dalam dunia filsafat Islam.[5] Setelah wafatnya Ibnu Rusyd, secara berangsur-angsur filsafat Islam mulai mengalami kemunduran, akibat kritikan tajam al-Ghazali terhadap masalah-masalah filsafat dalam kitabnya Tahafut al-Falasifah. Ketika budaya berfikir ala filsafat mulai dibenci dan banyak ditinggalkan umat Islam, maka pemikiran-pemikiran filsafat beralih kepada Eropa yang dibawa dan dikembangkan oleh murid-murid Ibnu Rusyd dari non-muslim. Berawal dari sini, filsafat-filsafat Aristoteles dan Ibnu Rusyd akhirnya mulai berkembang di Eropa secara perlahan-lahan walaupun pada awalnya mendapat kecaman yang keras dari pihak Gereja. Namun pada akhirnya ilmu filsafat menjadi pintu gerbang bagi Eropa dalam menyongsong peradaban yang maju dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sebagai seorang penulis produktif, Ibnu Rusyd banyak menghasilkan karya-karya dalam berbagai disiplin keilmuan. Menurut Ernest Renan (1823-1892) karya Ibnu Rusyd mencapai 78 judul yang terdiri dari 39 judul tentang filsafat, 5 judul tentang kalam, 8 judul tentang fiqh, 20 judul tentang ilmu kedokteran, 4 judul tentang ilmu falak, matematika dan astronomi, 2 judul tentang nahu dan sastra.[6] Di antara karya-karyanya yang terkenal, yaitu:

Tahafut al-Tahafut. Buku yang terkenal dalam lapangan ilmu filsafat dan ilmu kalam. Buku ini merupakan pembelaan Ibnu Rusyd terhadap kritikan al-Ghazali terhadap para filosof dan masalah-masalah filsafat dalam bukunya yang berjudul Tahafut al-falasifah.

Al-Kasyf ‘an Manahij al-‘Adillah fi ‘Aqaid ahl al-Millah. Buku yang menguraikan metode-metode demonstratif yang berhubungan dengan keyakinan pemeluk agama.
Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid. Buku fiqh Islam yang berisi perbandingan mazhab (aliran-aliran dalam fiqh dengan menyebutkan alasan masing-masing).

Fashl al-Maqal Fi Ma Baina al-Himah Wa asy-Syirah Min al-Ittishal. Buku yang menjelaskan adanya persesuaian antara filsafat dan syari’at.[7]

Al-Mukhtashar al-Mustashfa fi Ushul al-Ghazali. Ringkasan atas kitab al-Mustashfa al-Ghazali.
Risalah al-Kharaj. Buku tentang perpajakan.

Kitab al-Kulliyah fi al-Thibb. Ensiklopedia kedokteran.
Dhaminah li Mas’alah al-‘Ilm al-Qadim. Buku apendiks mengenai ilmu qadimnya Tuhan yang terdapat dalam buku Fashl al-Maqal.

Al-Da’awi. Buku tentang hukum acara di pengadilan.
Makasih al-Mulk wa al-Murbin al-Muharramah. Buku yang berisi tentang perusahaan-perusahaan negara dan sistem-sistem ekonomi yang terlarang.

Durusun fi al-Fiqh. Buku yang membahas beberapa masalah fiqh.[8]

Buku-buku yang disebutkan di atas merupakan karya asli dari pemikiran Ibnu Rusyd. Selain itu, Ibnu Rusyd juga menghasilkan karya ulasan atau komentar terhadap karya filosof-filosof sebelumnya seperti Ibnu Sina, Plato, Aristoteles, Galen dan Porphiry, seperti: Urjazah fi al-Thibb, Kitab al- Hayawan, Syarh al-Sama’ wa al-A’lam, Syarah Kitab Burhan, Talkhis Kitab al-Akhlaq li Aristhuthalis, Jawami’ Siyasah Aflathun, dan sebagainya.[9]

C. FILSAFAT IBNU RUSYD

Sebagai komentator Aristoteles tidak mengherankan jika pemikiran Ibnu Rusyd sangat dipengaruhi oleh filosof Yunani kuno. Ibnu Rusyd menghabiskan waktunya untuk membuat syarah atau komentar atas karya-karya Aristoteles, dan berusaha mengembalikan pemikiran Aristoteles dalam bentuk aslinya. Di Eropa latin, Ibnu Rusyd terkenal dengan nama Explainer (asy-Syarih) atau juru tafsir Aristoteles. Sebagai juru tafsir martabatnya tak lebih rendah dari Alexandre d’Aphrodise (filosof yang menafsirkan filsafat Aristoteles abad ke-2 Masehi) dan Thamestius.[10]

Dalam beberapa hal Ibnu Rusyd tidak sependapat dengan tokoh-tokoh filosof muslim sebelumnya, seperti al-Farabi dan Ibnu Sina dalam memahami filsafat Aristoteles, walaupun dalam beberapa persoalan filsafat ia tidak bisa lepas dari pendapat dari kedua filosof muslim tersebut. Menurutnya pemikiran Aristoteles telah bercampur baur dengan unsur-unsur Platonisme yang dibawa komentator-komentator Alexandria. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd dianggap berjasa besar dalam memurnikan kembali filsafat Aristoteles. Atas saran gurunya Ibnu Thufail yang memintanya untuk menerjemahkan fikiran-fikiran Aristoteles pada masa dinasti Muwahhidun tahun 557-559 H.[11]

Namun demikian, walaupun Ibnu Rusyd sangat mengagumi Aristoteles bukan berarti dalam berfilsafat ia selalu mengekor dan menjiplak filsafat Aristoteles. Ibnu Rusyd juga memiliki pandangan tersendiri dalam tema-tema filsafat yang menjadikannya sebagai filosof Muslim besar dan terkenal pada masa klasik hingga sekarang.

Agama dan Filsafat

Ibnu Rusyd adalah tokoh yang ingin mengharmoniskan agama dan filsafat. Di antaranya tidak terdapat dua kebenaran yang kontradiktif, tetapi sebuah kebenaran tunggal yang dihadirkan dalam bentuk agama, dan melalui takwil, menghasilkan pengetahuan filsafat. Agama adalah bagi setiap orang, sedangkan filsafat hanya bagi mereka yang memiliki kemampuan-kemampuan intelektual yang memadai. Meskipun demikian, kebenaran yang dijangkau suatu kelompok tidaklah bertentangan dengan kebenaran yang ditemukan kelompok lain.[12]

Seperti al-Kindi, Ibnu Rusyd juga berpendapat bahwa tujuan filsafat adalah memperoleh pengetahuan yang benar dan berbuat benar. Dalam hal ini, filsafat sesuai dengan agama. Sebab tujuan agama-pun tidak lain adalah untuk menjamin pengetahuan yang benar bagi umat manusia dan menunjukkan jalan yang benar bagi kehidupan yang praktis.[13] Dari sini dipahami bahwa Agama dan filsafat dalam pandangannya adalah sejalan dan memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mencapai pengetahuan yang benar. Berfilsafat secara benar yaitu dengan menggunakan metode ilmu mantiq yang benar pula, sehingga memunculkan pengetahuan yang tidak bertentangan dengan ajaran agama. Dengan arti lain orang yang berfilsafat atau filosof menggunakan logika untuk mencari kebenaran, ukuran kebenaran menurut Rusyd adalah akal yang dihiasi oleh nilai-nilai agama.

Tingkat Kemampuan manusia

Dalam membuktikan kebenaran Ibnu Rusyd merumuskan perbedaan tingkat kapasitas dan kemampuan manusia dalam menerima kebenaran menjadi tiga kelompok. Pertama adalah yang menggunakan metode retorik (khathabi). Kedua metode dialektik (jadali) dan ketiga metode demonstratif (burhani). Metode yang pertama dan kedua dipakai oleh manusia awam, sedangkan metode yang ketiga merupakan pengkhususan yang diperuntukkan bagi kelompok manusia yang tingkat intelektual dan daya kemampuan berfikirnya tinggi.

Tingkat kemampuan manusia ini terkait dengan masalah pembenaran atau pembuktian atas sesuatu yang dipengaruhi oleh kapasitas intelektualnya. Ibnu Rusyd menjelaskan, bagi manusia, adanya tingkatan pembuktian kebenaran secara burhani, jadali dan khatabi, karena kemampuan manusia dalam menerima kebenaran itu berbeda-beda dan beragam.[14] Pengelompokan ini, menurut Ibnu Rusyd sesuai dengan semangat al-Qur’an yang mengajarkan umat Islam untuk mengajak manusia kepada kebenaran dengan jalan hikmah, pelajaran yang baik dan debat yang argumentatif. Allah berfiran dalam surat an-Nahl ayat 125 berbunyi:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.[15]

Kebahagiaan

Konsep kebahagiaan Ibnu Rusyd sejalan dengan ide al-Farabi dan Ibnu Sina yang menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan adalah jalan pencapaian dan kebahagiaan spiritual. Derajat kesempurnaan tertinggi ialah jika seseorang menembus tabir dan melihat dirinya aspek demi aspek di hadapan realitas-realitas. Ibnu Rusyd menolak jika kesederhanaan dan kejumudan orang-orang tasawuf merupakan sarana untuk menyendiri dan berhubungan dengan Tuhan. Ia menolak anggapan kaum sufi mengemukakan bahwa kebahagiaan seseorang dapat dicapai tanpa ilmu pengetahuan.[16]

Ibnu Rusyd percaya bahwa konsep kebahagiaan hanya dapat dicapai melalui akal aktual dan ilmu pengetahuan. Lebih lanjut Ibnu Rusyd berpendapat bahwa sejak bayi dilahirkan, manusia sudah membawa kesiapan untuk menerima pengetahuan-pengetahuan umum sehingga jika ia mulai belajar, maka kesiapan ini berubah menjadi akal aktual. Akal ini selalu berkembang dan meningkat sampai ia bisa berhubungan dengan akal yang tidak ada pada benda dan daripadanya mengambil pancaran ilham. Akal yang sudah sampai kepada tahap menerima pancaran ilham merupakan kesempurnaan tertinggi. Sedangkan jalan yang akan menuntun untuk mencapainya, ialah perkembangan segala pengetahuan dan peningkatan persepsi manusia. Karena ilmu pengetahuan semata-mata adalah jalan kebahagiaan dan hubungan dengan alam akal dan alam ruh.[17]

Akal dan Jiwa Manusia

Manusia menurut Ibnu Rusyd, mempunyai dua gambaran yang dalam bahasa Arab disebut ma’ani.[18] Kedua gambaran itu dinamakan percept (perasaan) dan concept (pikiran). Perasaan adalah gambaran khusus yang dapat diperoleh dengan pengalaman yang berasal dari materi. Ibnu Rusyd memberi perbedaan antara perasaan dan akal. Pemisahan ini memperlihatkan kecenderungan Ibnu Rusyd dalam memisahkan antara pengetahuan akali (aqli) dengan pengetahuan inderawi (naqli). Dengan sendirinya kedua pengetahuan ini berbeda dalam hal cara manusia memperolehnya. Pengetahuan inderawi diperoleh dengan percept (perasaan), sedangkan pengetahuan aqli diperoleh lewat akal, pemahamannya dilakukan dengan penalaran atau pikiran.

Akal sendiri dibagi menjadi dua jenis, yang pertama disebut akal praktis dan yang kedua adalah akal teoritis. Akal praktis memiliki fungsi sensasi, di mana akal ini dimiliki oleh semua manusia. Di samping memiliki fungsi sensasi, akal praktis juga memiliki pengalaman dan ingatan. Sedangkan akal teoritis mempunyai tugas untuk memperoleh pemahaman (konsepsi) yang bersifat universal.[19] Penulis yakin pendapat Rusyd logis dan tepat, fakta membuktikan perkembangan akal manusia menunjukkan benar adanya, buktinya dari sekian banyak manusia tidak semuanya berfikir sama dan cara mengambil kesimpulanpun berbeda pula, tergantung pada tingkat kecerdasan intelektualis manusia tersebut.

D. TANGGAPAN ATAS PENDAPAT AL-GHAZALI

Seperti diketahui, al-Ghazali dalam buku Tahafut al-Falasifah telah menyerang para filosof. Sedikitnya ada dua puluh persoalan yang diuraikan al-Ghazali berkenaan dengan kerancuan berfikir mereka. Tiga di antaranya, menurut al-Ghazali, menyebabkan para filosof telah kufur. Sebagai filosof, Ibnu Rusyd merasa berkewajiban membela para filosof dan pemikiran mereka dan mendudukkan masalah tersebut pada proporsinya. Dari sini muncullah karyanya berjudul Tahafut al-tahafut sebagai sanggahan pendapat al-Ghazali, bahkan mengisayaratkan bahwa al-Ghazali lah yang sebenarnya kacau dalam berfikirnya.

Tiga masalah filsafat yang menyebabkan kekafiran para filosof menurut al-Ghazali ialah qadimnya alam, Tuhan tidak mengetahui rincian yang terjadi di alam (juz’iyyat), dan kebangkitan jasmani. Berikut tanggapan Ibnu Rusyd terhadap kritikan al-Ghazali mengenai tiga masalah tersebut.

1. Qadimnya Alam

Ibnu Rusyd menjelaskan, perselisihan yang terjadi antara kaum teolog dengan kaum filosof klasik mengenai persoalan apakah alam semesta ini qadim (ada tanpa permulaan) atau hadits (ada setelah tiada) sebagaimana pendapat al-Ghazali. Menurut Rusyd dari yang tidak ada tidak mungkin menjadi ada, tetapi mungkin terjadi adalah “ada” yang berubah menjadi “ada” dalam bentuk lain.[20] Lebih lanjut Rusyd mengatakan tidak ada ayat yang menunjukkan bahwa Tuhan pada mulanya berwujud sendiri, yaitu tidak ada wujud selain Allah dan kemudian barulah dijadikan alam, seperti tersebut dalam surat Hud ayat 7 berikut ini:  

”Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya ".[21] (lihat juga Q.S. Fusilat ayat 11 dan al-Ambiya ayat 30 serta Ibrahim ayat 47-48).

Inti dari ayat di atas menurut pemahamn Ibnu Rusyd adalah sebelum adanya wujud langit dan bumi telah ada wujud lain yaitu air atau uap, kemudian Allah menciptakan bumi dengan air atau uap tersebut. Memang alam ini betul diwujudkan atau diciptakan kata Rusyd, tetapi diwujudkan secara terus menerus, artinya penciptaan itu terus menerus setiap saat dalam bentuk perubahan alam yang berkelanjutan, semua bagian alam akan berubah dalam bentuk baru menggantikan bentuk lama. Pencipta alam hanya dilakukan sekali saja.

Adapun keabadian alam ini menurut Rusyd ada dua macam keabadian yaitu keabadian dengan sebab dan keabadian tanpa sebab. Hanya Tuhan yang abadi tanpa sebab, sedangkan alam menjadi abadi tetapi dengan adanya sebab atau perantara. [22]

Penulis melihat perbedaan pendapat al-Ghazali dan teolog lainnya dengan pemikiran Ibnu Rusyd hanya pada penamaan saja, tetapi subtansinya tidak ada beda satu sama lain. Penulis yakin tidak ada yang salah dengan Ibnu Rusyd, barangkali berbeda sudut pandang saja. Andaikata mereka hidup dalam satu zaman mungkin perdebatan itu tidak akan terjadi, sebab mereka sendiri pada dasarnya sepakat tentang adanya tiga macam wujud yaitu: Sisi wujud yang pertama adalah: Wujud yang tercipta dari sesuatu di luar dirinya sendiri dan berasal dari sesuatu yang berbeda, yang tercipta dari bahan (materi) tertentu dan didahului oleh zaman. Inilah kondisi benda-benda wujud yang tertangkap indera seperti air, udara, bumi, hewan tumbuhan dan sebagainya. Wujud ini disepakati untuk menamakannya sebagai sesuatu yang muhdatsah (tercipta setelah tidak ada).[23]

Sisi wujud yang kedua berseberangan dengan sisi tersebut di atas adalah wujud yang keberadaannya tidak berasal dari sesuatu apapun, tidak disebabkan oleh sesuatu apapun juga dan tidak didahului oleh zaman. Sisi wujud ini juga disepakati, untuk menamakannya sebagai yang qadim (ada tanpa permulaan). Wujud ini adalah Allah Ta’ala, penggerak sesuatu yang ada.[24]

Ketiga sisi wujud yang di antara keduanya yaitu: wujud yang keberadaannya tidak berasal dari sesuatu apapun, tidak didahului oleh zaman, akan tetapi keberadaannya disebabkan oleh suatu penggerak. Sisi wujud ini adalah alam semesta dengan segala perangkatnya. Mereka semua setuju adanya tiga sifat tersebut pada alam semesta. Para teolog mengakui bahwa zaman tidak mendahului alam semesta, karena zaman adalah sesuatu yang menyertai gerak dan benda. Jadi letak permasalahannya adalah sisi wujud yang pertengahan ini menempati dan memiliki persamaan dengan wujud yang muhdats maupun wujud yang qadim.[25]

2. Pengetahuan Tuhan

Dalam masalah pengetahuan Tuhan, al-Ghazali menuduh para filosof berpendirian bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang kecil, kecuali dengan cara yang kulliyat (umum, universal). Ibnu Rusyd menjawab tuduhan al-Ghazali ini telah salah paham terhadap pendapat filosof. Ibnu Rusyd meluruskan, pendapat filosof adalah bahwa pengetahuan Tuhan tentang rincian (juz’iyyat) berbeda dengan pengetahuan manusia.[26]

Pengetahuan manusia adalah mengambil bentuk efek, yaitu melalui yang ditangkapnya oleh panca indera, sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan sebab bagi terwujudnya rincian tersebut. Karena itu, pengetahuan manusia bersifat baharu dan pengetahuan Tuhan bersifat qadim, yaitu semenjak azalinya. Tuhan mengetahui segala hal yang terjadi di alam ini. Namun begitu, pengetahuan Tuhan tidak dapat diberi sifat-sifat kulliyat atau juz’iyyat, karena sifat-sifat yang demikian hanya dapat dikaitkan kepada makhluk saja. Secara pasti, pengetahuan Tuhan tidak dapat diketahui kecuali oleh Tuhan sendiri. [27]

3. Kebangkitan Jasmani

Al-Ghazali menjelaskan dalam Tahafut al-Falasifah para filosof mengatakan bahwa kebangkitan di akhirat nanti adalah bersifat rohani. Maksudnya manusia akan menerima balasan baik atau buruk adalah rohaninya bukan jasmani, sementara pandangan al-Ghazali adalah jasmani dan juga rohani.[28]

Menanggapi masalah di atas, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa kebangkitan rohani berdasarkan pendapat para filosof merupakan ta’wil (interpretasi) yang tidak perlu dipermasalahkan karena yang terpenting bahwa para filosof juga meyakini adanya hari kebangkitan dan tidak mengingkarinya. Pengingkaran terhadap hari kebangkitan yang dapat dikategorikan kafir, bukan pada eksistensi kebangkitannya.[29] Rusyd dalam hal ini cendrung berpendapat bahwa kemungkinan rohani saja, namun ada kemungkinan juga beserta jasmani, tetapi bukan lagi jasmani duniawi yang telah fana, tetapi jasmani lain.[30]

Sementara baik para filosof maupun sufi sepakat bahwa puncak kebahagiaan adalah pada rohaninya dan bukan pada materinya. Meskipun demikian, Ibnu Rusyd sendiri tidak menolak kemungkinan adanya kebangkitan jasmani juga, karena tidak ada yang tidak mungkin dilakukan oleh Allah SWT. Bagi orang awam (khatabi, jadali) yang masih berfikir sederhana dan belum mampu menangkap pesan-pesan al-Qur’an secara abstrak, penggambaran jasmani adalah untuk memotivasi mereka agar melakukan perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan jahat.

E. GERAKAN AVERROISME DI EROPA

Averroisme merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan penafsiran filsafat Aristoteles yang dikembangkan Ibnu Rusyd oleh pemikir-pemikir Barat-Latin, atau juga disebut gerakan intelektual yang berkembang di Barat pada abad ke 13-17.[31]

Kontak Eropa dengan pemikiran Ibnu Rusyd bermula dari sikap pemerintah al-Muwahhidun setelah kematian Abu Ya’cub tahun 1184 M, seterusnya digantikan oleh putranya Abu Yusuf al-Mansur. Ia terpengaruh oleh fitnah orang yang tidak suka kepada Ibnu Rusyd, sehingga beliau ditangkap dan disingkirkan ke Lucena di selatan Cardova. Pemerintah juga memerintahkan untuk membakar semua karyanya dan sekaligus melarang membaca karya-karyanya.[32] Beberapa pengikut setia dari muridnya seperti Maimunides, Joseph Benjehovah, bangsa Yahudi ini menyambut Rusyd dengan rasa kecintaan di Lucena. Di sini Ibnu Rusyd melanjutkan pekerjaannya mengajar dan mengarang, umumnya murid beliau adalah bangsa Yahudi.

Pemikirannya terus berkembang di Eropa dengan diterjemahnya buku-buku Rusyd dari bahasa Arab ke bahasa latin dan Ibrani, selanjutnya menggoncangkan sosio-religius yang selama ini telah merantai akal mereka dengan kebijakan gereja.

Pengaruh Ibnu Rusyd ini semakin menunjukkan bentuknya dengan munculnya gerakan Averroisme di Barat yang mencoba mengembangkan gagasan-gagasan Ibnu Rusyd yang rasional dan ilmiyah. Pada mulanya istilah ini dimaksudkan sebagai bentuk penghinaan terhadap pendukungnya. Tidak seorang pun yang berani dengan tegas menyatakan dirinya sebagai pendukung Averroisme. Barulah setelah masa Johannes Jandun (1328) yang pertama kali menegaskan dirinya secara terbuka sebagai pengikut Averroisme dan diikuti oleh Urban dari Bologna (1334) serta Paul dari Venesia (1429), para pendukung pemikiran Ibnu Rusyd lainnya mulai berani secara terang-terangan menyatakan pendirian mereka.[33]

Tokoh yang terkenal sebagai pelopor Averroisme adalah Siger de Brabant (1235-1282) dan diikuti oleh murid-muridnya seperti Boethius de Decie, Berner van Nijvel dan Antonius van Parma.[34] Para mahasiswa tersebut mempelajari, meneliti dan menela’ah karya-karya ulasan Ibnu Rusyd terhadap filsafat Aristoteles. Landasan rasionalitas yang dikembangkan Ibnu Rusyd ternyata sangat menarik perhatian mereka. Timbul kesadaran di kalangan sarjana-sarjana Barat untuk mengoptimalkan penggunaan akal dan meninggalkan paham-paham yang bertentangan dengan semangat rasional. Pada gilirannya Barat bangkit dari keterpurukan menuju puncak pengetahuan, sehingga Nouruzzaman mengatakan Spanyol sebagai jembatan penyebrangan muslim ke Barat.[35]

Ajaran-ajaran mereka yang terilhami oleh pemikiran Ibnu Rusyd antara lain adalah pandangan mereka tentang pembuktian keberadaan Tuhan dengan teori gerak. Sama dengan Ibnu Rusyd, mereka memandang bahwa segala sesuatu di dunia ini mesti ada yang menggerakkannya. Karena tidak mungkin ada rentetan gerak yang tiada hentinya itu tanpa ada penggeraknya, maka sampailah mereka pada kesimpulan adanya penggerak utama. Itulah yang dalam bahasa Ibnu Rusyd disebut al-Muharrik al-Awwal (Tuhan)[36] atau Prima Causa menurut Aristoteles.

Berdasarkan pandangan ini, mereka juga mengikuti Ibnu Rusyd dalam pandangan mereka tentang teori kausalitas. Meskipun Tuhan adalah penyebab segala sesuatu, Tuhan hanyalah menciptakan akal pertama saja, sedangkan secara seterusnya diciptakan oleh akal-akal berikutnya. Inilah yang dimaksud Ibnu Rusyd dengan hukum-hukum alam terhadap penciptaan Tuhan. Jadi, sebagaimana Ibnu Rusyd, mereka memahami bahwa penciptaan Tuhan terhadap segala sesuatu bukanlah secara langsung, tetapi melalui hukum-hukum alam yang tetap yang telah diciptakan-Nya terhadap segala ciptaan-Nya tersebut

Pada tahun 1270, paham Averroisme yang diajarkan Siger van Brabant dan murid-muridnya diharamkan oleh gereja. Para penguasa Kristen ketika itu menganggap ajaran Ibnu Rusyd berbahaya bagi akidah orang Kristen. Lalu pada tahun 1277 M pandangan-pandangan Averroisme secara resmi dilarang di Paris melalui sebuah undang-undang yang dikeluarkan gereja. Siger van Brabant sendiri akhirnya dihukum mati oleh gereja tujuh tahun kemudian. Pada tahun-tahun berikutnya, Paus semakin meningkatkan aksinya menentang universitas yang mengajarkan pemikiran Aristoteles dan Ibnu Rusyd. Banyak tokoh-tokoh Averroisme dihukum dan buku-buku karangan Ibnu Rusyd dibakar. Selama tahun 1481-1801, tidak kurang dari 340.000 pengikut Rusyd dihukum, dan hamper 32.000 diantaranya dibakar hidup-hidup.[37] Pendapat lain mengatakan sejak tahun 1481-1499 pengikut Rusyd telah dibakar sebanyak 10.022 orang dan 66.860 orang dihukum gantung serta 97.023 orang duhukum dengan berbagai sisksaan.[38]

Namun demikian, larangan dan kutukan gereja terhadap Averroisme tidak membuat surut perkembangan gerakan intelektual ini, malah sebaliknya semakin menyebar ke berbagai wilayah lainnya di Eropa.[39] Apalagi setelah Johannes mengeluarkan statemen bahwa Averroisme itu benar, kitab Suci juga benar, baginya kebenaran ada dua yaitu kebenaran filosofis dan kebenaran teologi.[40]

Gerakan Averroisme yang ditandai oleh semangat rasional inilah yang yang melahirkan renaisans di Eropa, artinya kebangkitan Eropa dalam bidang ilmu pengetahuan warisan Yunani dan Romawi yang pernah padam. Sekaligus melepaskan keterikatan dengan gereja sebagai agama mayoritas Eropa. Era renaisans Eropa muncul pada abad ke-14 hingga sekitar pertengahan abad ke-17.[41]

Inti renaisans adalah mengangkat kembali kedaulatan manusia yang telah dirampas oleh Dewa dan motologi dalam waktu yang berabad-abad lamanya. Kehidupan berpusat pada manusia bukan pada Tuhan. Tokoh-tokoh Averroisme meyakini kebenaran pandangan Ibnu Rusyd tentang keharmonisan antara akal dan wahyu, filsafat dan agama, menimbulkan kesadaran bagi mereka untuk mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan sebagai warisan dari peradaban Yunani dan Islam.
Asal tulisan di sini

No comments:

Post a Comment